TiMe..TiMe..

Join The Community

Selasa, 06 Oktober 2009

etika profesi akuntansi

SPAP SEBAGAI RAMBU-RAMBU ETIKA PROFESI AUDITOR
Merujuk pada klasifikasi profesi secara umum, maka salah satu ciri yang membedakan profesi-profesi yang ada adalah etika profesional yang dijadikan sebagai standar pekerjaan bagi para anggotanya. Etika profesional diperlukan oleh setiap profesi khususnya bagi profesi yang membutuhkan kepercayaan dari masyarakat, seperi profesi auditor. Masyarakat akan menghargai profesi yang menerapkan standar mutu yang tinggi dalam pelaksanaan pekerjaannya.
Berbicara mengenai etika, kita dapat merujuk pada pernyataan seorang filsuf sekaligus ahli matematika Yunani yang tidak lain adalah murid Aristoteles, yaitu Socrates. Menurut Socrates yang dimaksud dengan tindakan etis adalah tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran. Benar dari sisi cara, teknik, prosedur, maupun dari sisi tujuan yang akan dicapai.
Dari teori etika, profesi pemeriksa (auditor) diatur dalam sebuah aturan yang disebut sebagai kode etik profesi akuntan. Dalam kode etik profesi akuntan ini diatur berbagai masalah, baik masalah prinsip yang harus melekat pada diri auditor, maupun standar teknis pemeriksaan yang juga harus diikuti oleh auditor, juga bagaimana ketiga pihak melakukan komunikasi atau interaksi.
Dinyatakan dalam kode etik yang berkaitan dengan masalah prinsip bahwa auditor harus menjaga, menjunjung, dan menjalankan nilai-nilai kebenaran dan moralitas, seperti bertanggungjawab (responsibilities), berintegritas (integrity), bertindak secara objektif (objectivity) dan menjaga independensinya terhadap kepentingan berbagai pihak (independence), dan hati-hati dalam menjalankan profesi (due care).

Etika aditor yang dalam SPAP (1994) yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) disebut sebagai norma akuntan menjadi patokan resmi para auditor Indonesia dalam berpraktek. Norma-norma dalam SPAP tersebut yang menjadi acuan dalam penentuan tiga standar utama dalam pekerjaan auditor kita, antara lain :
1. Auditor harus memiliki keahlian teknis, independen dalam sikap mental serta kemahiran profesional dengan cermat dan seksama;
2. Auditor wajib menemukan ketidakberesan, kecurangan, manipulasi dalam suatu pengauditan.
Hal yang paling ditekankan dalam SPAP adalah betapa esensialnya kepentingan publik yang harus dilindungi serta sifat independensi dan kejujuran seorang auditor dalam berprofesi. Namun, sulit untuk menentukan fungsi dan etika pengauditan yang secara teknik dapat mendeteksi jika ada penyelewengan pada sistem pemerintahan baik untuk penyusunan anggaran maupun aktivitas keuangan lainnya.
Pengawasan kepatuhan dan penilaian pelaksanaan kode etik serta SPAP oleh akuntan publik dilaksanakan oleh Badan Pengawas Profesi di tingkat Kompartemen Akuntan Publik dan Dewan Pertimbangan Profesi di tingkat IAI.
Fungsi dari Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik ini secara garis besar adalah mengawasi kepatuhan dan melakukan penilaian pelaksanaan Kode Etik Akuntan Indonesia dan SPAP oleh akuntan publik. Badan ini juga menangani pengaduan dari masyarakat menyangkut pelanggaran akuntan publik terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia atau SPAP. Kemudian jika menemukan pelanggaran Kode Etik Akuntan Indonesia SPAP, Badan ini berwenang untuk menetapkan sanksi kepada akuntan publik yang melanggar. Selain itu Badan ini juga dapat mengajukan usul dan saran mengenai pengembangan kode etik akuntan kepada Komite Kode Etik.

(http://REGULASI KETAT SEBAGAI TANTANGAN PROFESIONALISME AUDITOR MASA DEPAN _ segala warna dunia.html)

pendapat saya: etika akuntansi adalah subyektif. Artinya, bukan data konkret, tidak dapat diukur secara matematis atau ekonomis. Hal-hal semisal akhlak mempunyai peran penting. Seorang akuntan dituntut berpikiran makro, artinya tidak terbatas kepada divisinya sendiri tapi lebih luas lagi sampai ke taraf perusahaan atau instansi secara utuh.

Selasa, 2008 April 08

ETIKA PROFESI

MENYOAL ETIKA PROFESI AKUNTAN
Monday, 03 March 2008 10:29

Banyaknya pelanggaran etika dalam dunia bisnis termasuk jasa profesi menimbulkan preseden buruk bagi perkembangan jasa itu sendiri. Pelanggaran etika ini terjadi karena masih minimnya moral prilaku dari pelaku, dan termasuk belum adanya standar etika yang bisa diterima secara bersama.

Kita bisa melihat kejadian yang menimpa jasa profesi akuntan dalam hal ini auditor (Kantor Akuntan Publik) yang dituding bertanggung jawab terhadap penglikuidasian puluhan bank di Indonesia.

Menariknya, tudingan ini berasal dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurut koordinator Badan Pekerja ICW, mensinyalir pihak KAP berkolusi dengan bank yang diauditnya yang sebenarnya bermasalah. Hal itu bisa dilihat dari kondisi bank yang bobrok dibuat seolah-olah tidak apa-apa. Dan di kemudian hari tiba-tiba ambruk.

Namun pihak akuntan mengatakan persoalan salah dan benarnya akuntan dalam melakukan tugas pekerjaannya, tolok ukurnya tidak sederhana seperti yang dikemukakan ICW (Media Akuntansi, edisi 19/Juli-Agustus 2001).

Pelanggaran etika kembali terjadi baik dalam skandal korporasi menengah dan besar atau dari dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa canto skandal korporasi di Amerika; (1) ADELPHIA yaitu adanya kemungkinan tidak mengungkapkan hutang sebesar US$3,1 milyar dan jaminan kepada keluarga pendirinya secara memadai, (2) COMPUTER ASSOCIATES yaitu adanya kemungkinan menggelembungkan pendapatan yang fiktif dan memberikan imbalan jasa kepada top executive secara tidak memadai, (3) ENRON, diakui telah menggelembungkan laba (earnings) secara tidak layak dan menyembunyikan hutang melalui bisnis partnership, dan khusus di dalam negeri seperti; kasus Bank Lippo, yang auditor terlibat di dalamnya (Sensi, 2003).

Peristiwa skandal korporasi di atas hampir semuanya melibatkan jasa profesi akuntansi. Sehingga tidak heran jasa ini menjadi sorotan dalam masyarakat. Masyarakat yang peduli termasuk anggota Ikatan Akuntan Indonesia mendorong supaya kode etik jasa profesi dikaji ulang. Banyak pertanyaan yang muncul atas kejadian yang menimpa jasa profesi akuntansi, misalnya; Apakah auditor bertanggungjawab penuh terhadap kecurangan korporasi. Bagaimana jika auditor telah melaksanakan prosedur audit sesuai dengan SPAP namun gagal mendeteksi adanya fraud (audit failure), kemudian apakah benar aspek indepedensi merupakan satu-satunya yang menjadi issue utama. Dalam kenyataannya auditor selalu menjadi kambing hitam (spacegoats for bust) dalam skandal korporasi (Sensi, 2003).

Memang disadari sejak bergulirnya reformasi ekonomi tuntutan masyarakat terhadap akuntabilitas dan transparansi jasa profesi khususnya akuntan, mau tidak mau kita berlapang dada mereposisikan peranan jasa profesi. Satu hal yang mendasar bagi jasa profesi yang saat ini masih diabaikan oleh para pelaku adalah masalah etika atau moral. Perdebatan seputar etika memicu berbagai kalangan internal maupun eksternal merumuskan kembali arti pentingnya etika bagi jasa profesi. Dalam hal ini kita membagi permasalahan menjadi beberapa kategori yaitu; Pertama, perlukah pendidikan profesi akuntansi (PPA) dilandasi dengan moral atau etika yang jelas? Dari manakah sumber etika itu diambil? Kedua, badan apakah yang berhak untuk menetapkan etika? dan Ketiga, perlukah dibentuk dewan kehormatan terhadap pelanggaran etika jasa profesi akuntan?

Konsep Etika
Disadari atau tidak peranan etika telah dianggap sebagai simbol saja bagi pelaksanaan jasa pengauditan oleh akuntan. Di Indonesia, masyarakat baru sadar tentang pentingnya etika setelah terjadi krisis multidimensi, sedangkan di barat isu etika telah lama digaungkan sejak tahun 1915 oleh Harvard Business School.
Pengertian etika yang diambil dari kamus besar Bahasa Indonesia adalah :
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban (Akhlak).
2. Kumpulan dasar atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Sedangkan menurut Boynton dan Kell, etika terdiri dari prinsip-prinsip moral dan standar. Moralitas berfokus pada perilaku manusiawi benar dan salah. Selanjutnya Arens – Loebbecke (2000) menyatakan bahwa etika secara umum didefinisikan sebagai perangkat moral dan nilai.

Dalam teori etika, kata moralitas diambil dari Bahasa Latin moralia, kata sifat dari mos (adat istiadat) dan mores (perilaku). Sedangkan etika berasal dari Bahasa Yunani ethikos, kata sifat dari ethos (perilaku). Menurut De George (1982), etika merupakan suatu studi tentang moralitas. Ia juga menyatakan, moralitas merupakah istilah yang mencakup segala aktivitas yang mempertimbangkan pentingnya kebenaran (right) dan kesalahan (wrong). (Media Akuntansi, Utak-atik Etika Bisnis, no 26. bulan Mei 1998)

Masih berhubungan dengan teori etika, menurut Beauchamp, Bowie, Murphy dan Laczniak (1993 : 1981), menurut mereka ada dua teori etika. Pertama, teori deontologi, yang menitikberatkan pada tindakan-tindakan tertentu atau perilaku-perilaku dari seorang individu. Pendekatannya kepada kebenaran yang mendasar dari sebuah tindakan. Kedua, teori teleologi, yang lebih menitikberatkan pada konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan atau perilaku tertentu., dasar pendekatannya berupa jumlah kebaikan atau keburukan yang terdapat dalam konsekuensi tindakan.

Dari perspektif Islam etika tidak hanya sekedar perilaku individu yang bertindak secara benar tanpa suatu nilai kebenaran. Islam lebih menekankan penggunaan kata akhlak ketimbang etika. Dalam Islam pembahasan akhlak merupakan pembahasan yang menyatu dengan aqidah dan syariat. Syekh An Nabhani (2001) mendefinisikan akhlak sebagai perintah dan larangan Allah SWT tanpa melihat lagi apakah akhlak mesti diberi perhatian khusus yang dapat melebihi hukum-hukum atau ajaran Islam lainnya. Beliau juga menyatakan bahwa akhlak akan terwujud jikalau individu atau masyarakat menjalankan ajaran Islam secara paripurna. Sedangkan Muhd Shabri Abd. Majid (2002) mengatakan dalam membangun manusia maka diperlukan sikap (akhlak) , aspirasi, cita rasa dan motivasi manusia.

Berdasarkan pengertian etika yang telah dipaparkan di atas dapat kita simpulkan bahwa etika atau moral atau akhlak adalah suatu sikap atau perilaku yang dibentuk berdasarkan nilai baik dan buruk yang berasal dari sang pencipta manusia itu sendiri yaitu Allah SWT. Pengertian yang dimaksud adalah bahwa manusia memahami apa yang baik dan buruk serta ia dapat membedakan keduanya dan selanjutnya mengamalkannya. Pengertian baik dan buruk tidak dilalui dengan pengalaman atau pemikiran akan tetapi telah ada sejak pertama kali "ruh" ditiupkan. "Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya" (QS Asysyams: 7-8).

Pengertian (pemahaman) baik dan buruk merupakan kefitrahan manusia yang harus diungkap lebih jelas, atas dasar apa kita melakukan suatu amalan. Sesungguhnya kefitrahan itu sejalan dengan kehendak Allah yang disebut dalam Al-Qur’an :

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya (QS Arrum: 30).

Kesadaran Beretika
Kesadaran beretika mestilah harus dipahami secara komprehensif. Etika tidak bisa dilepaskan dari suatu nilai yang bersifat universal. Tidak diragukan lagi kebenarannya baik secara normatif, empirik bahwa nilai ideologi Kapitalis yang selama ini diterapkan di Indonesia telah gagal. Terbukti hancurnya segala dimensi kehidupan baik politik, ekonomi, social, budaya, serta moral hanya dalam waktu sekejap. Sehingga memang dalam membangun etika selama ini tidak terlepas dari suatu ideologi Kapitalis yang diaplikasikan selama puluhan tahun. Sejak runtuhnya perekonomian Indonesia, mulailah orang melirik kepada sistem ekonomi Islam. Sistem perekonomian Islam pun mulai digaungkan kepada dunia bisnis.

Situasi ini memang sudah mulai disadari oleh dunia Barat termasuk Indonesia sendiri, tetapi kesadaran itu baru sampai pada tahap pentingnya etika. Saat ini di dunia Barat mulai muncul perlunya etika dalam berbagai hal. Namun ada dua sikap : apakah etika itu perlu dilegalisasi (distandarisasi) atau dibiarkan saja secara alamiah melalui mekanisme pasar (market mechanism), budaya dan "social control" (Harahap ; 2001).

Sikap ini harus kita cermati dengan hati-hati, karena kesalahan melangkah akan mengakibatkan kerusakan yang fatal. Selama ini Barat (baca: Amerika) selalu mempropagandakan politik pasar bebas dalam gaung globalisasinya. Sehingga, kalau kita mau melihat fakta dengan kritis, maka globalisasi ini sebenarnya adalah pengglobalisasian ideologi Kapitalisme (Abdul Qaddim Zallum: 1996).

Kenyataannya mainstream masih berpihak pada etika yang diserahkan kepada "market" atau "social control" tanpa harus melalui "law enforcement" dengan alasan mempertahankan kemurnian tatanan sosial sekulerisme. Kendatipun "social control" ini ada perannya namun dalam berbagai pelanggaran "code ethics" di berbagai profesi yang diserahkan kepada prinsip voluntarisme ternyata tidak efektif dan banyak membawa korban di pihak manusia dan peradabannya. Kemungkinan besar pemikiran- pemikiran etika yang dilegalisasi akan mendapat tempat dihati para pembuat kebijakan di masa yang akan datang.

Pendidikan Etika
Pendidikan profesi akuntansi (PPA) merupakan jalur pendidikan profesi untuk mendapatkan sebutan akuntan. Penyelenggaraan pendidikan profesi diatur selama 2 sampai 4 semester dengan SKS minimum 20 dan maksimum 40 SKS Pendidikan tinggi ini diharapkan menghasilkan lulusan yang tidak saja memiliki pengetahuan yang cukup, tetapi juga bertakwa dan mempunyai integritas. Dengan kata lainnnya adalah menghasilkan lulusan sebagai manusia seutuhnya. (Baridwan, 2003).

Namun demikian, pertanyaan yang muncul apakah jumlah SKS dan waktu yang terbatas dalam pendidikan profesi akuntansi mampu menghasikan manusia seutuhnya (berpengetahuan dan bermoral). Untuk mengatasi masalah banyaknya beban pendidikan yang harus diselesaikan selama mahasiswa itu kuliah, dapat ditempuh dengan cara mengkombinasikan kegiatan intra dan esktra kurikuler. Sebagaian pendidikan agama dan moralitas tetap ada dalam kurikulum, dan kekurangannya dilaksanakan melalui kegiatan ekstra kurikuler. Untuk kegiatan yang masuk dalam kurikulum, materi yang terkait dengan emosional dan spritual intelligences dapat dicakup melalui:
1. Mata kuliah tersendiri
2. Bagian terpisah dalam mata kuliah tertentu
3. Dalam setiap bahasan dalam mata kuliah.
Pemilihan salah satu cara perlu disesuaikan dengan sifat mata kuliah dan waktu yang tersedia (Baridwan, 2003).

Sumber Etika
Dengan kesadaran terhadap pentingnya etika dalam jasa profesi, maka kita juga tidak dapat mengabaikan tentang sumber etika bagi jasa profesi. Berdasarkan adanya dua sikap dari penetapan etika apakah dilegalisasi atau dibiarkan sesuai dengan mekanisme pasar, tidaklah terlalu diperdebatkan andaikan sumber etika atau aturannya jelas. Namun karena mekanisme pasar sekarang lebih banyak didominasi oleh nilai sosial sekulerisme, maka sangatlah berbahaya kalau kita serahkan begitu saja. Dan kalaupun kita legalisasi dengan aturan yang menggunakan nilai Kapitalisme juga sama bahayanya. Lalu sumber manakah yang harus kita jadikan acuan dalam menetapkan standar etika yang benar dan berlaku bagi semua jasa profesi?

Negara Indonesia yang memiliki muslim terbesar di dunia sudah seharusnya menerapkan sistem Islam dalam segala bidang termasuk dalam masalah perekonomian. Islam memandang bahwa setiap perilaku manusia dalam segala aspek kehidupan terikat dengan hukum syara’, sesuai dengan kaidah ushul : "Asal hukum suatu perbuatan terikat pada hukum syara". Dengan demikian akhlak yang merupakan perwujudan pelaksanaan hukum syara’ pun jelas sekali terikat dengan hukum syara’.

Hanifah (2001:9) berpendapat bahwa nilai syari’ah tersebut merupakan paradigma alternatif di dalam merumuskan kerangka konseptual untuk akuntansi Islam. Landasan pacu ini yang kemudian akan mengantarkan wajah dari etika jasa profesi akuntan. Paradigma syari’ah yang diperkenalkan oleh Hanifah, dalam merumuskan kerangka konseptual akuntansi merupakan multi paradigma yang holistic, mencakup keseluruhan dimensi dan saling terkait (integrated). Multi paradigma syari’ah inilah yang membedakan paradigma akuntansi konvensional yang memiliki muatan Kapitalis atau Sekulerisme. Sehingga tidaklah begitu heran banyak akuntan pun sekarang lebih berorientasi kepada kebutuhan materi belaka, akibatnya mengabaikan nilai moral yang mengutamakan pertanggungjawaban kepada Allah SWT.

Bentuk tanggung jawab yang diwakili informasi akuntansi tersebut adalah bentuk laporan keuangan yang full disclosure, dan pemberian opini atau rekomendasi dengan penekanan kepada pemenuhan kewajiban kepada Allah, keadilan masyarakat, kebenaran dan kejujuran. Apabila hal ini dipraktekkan, maka pelanggaran etika akan dapat diminimalisir. Karena mereka akan dimintai pertanggungjawaban nanti di akhirat.

Oleh karena itu, selayaknya sumber etika diambil dari etika Islam, dan menjadi suatu alternatif bagi pembenahan dan reposisi jasa profesi . Tidak peduli lagi apakah standar etika tersebut dilegalisasi atau dibiarkan sesuai dengan mekanisme pasar, dengan syarat tiga pilar yaitu, individu yang taat, masyarakat yang melakukan amar ma’ruf nahyi mungkar, dan negara yang menerapkan sistem Islam ditegakkan (An Nabhani, 2001).

Badan Penetapan Standar Etika
Muncul suatu permasalahan, siapakah atau lembaga manakah yang berhak untuk menetapkan standar andaikan kita memilih untuk melegalisasi standar etika bagi jasa profesi. Persoalan ini tidak akan muncul jika kita memilih standar etika diserahkan kepada mekanisme pasar.

Khusus di AS, penetapan standar etika dipengaruhi oleh dewan akuntansi (Board of Accountancy) di 50 negara bagian. Setiap negara bagian memberikan izin kepada praktisi individu berpraktek sebagai anggota CPA. Memang tidak semua negara bagian mengadopsi semua aturan, tetapi mereka memberikan suatu batasan-batasan sesuai dengan kondisi negara mereka.

Etika profesional Kantor Akuntan Publik (CPA), telah diatur oleh American Instituted Certified Public Accountant (AICPA) dalam kode pelaksanaan profesi (code of professional conduct). Kode ini terdiri dari empat bagian yaitu; prinsip, aturan pelaksanaan, penafsiran aturan yang dijalankan, dan pengaturan etika. Bagian dari kode ini sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan profesi yang mengandung suatu diskusi umum pada kebutuhan karakteristik tertentu dari CPA. Bagian prinsip ini terdiri dari dua bagian utama; enam prinsip etika dan suatu diskusi dari prinsip-prinsip tersebut. Enam prinsip tersebut adalah pertanggungjawaban, kepentingan publik, integritas, objektivitas dan independensi, perhatian, ruang lingkup dan sifat pelayanan.

Di Indonesia, kita bisa menyerahkan pembuatan standar etika profesi kepada IAI bekerjasama dengan lembaga-lembaga lainnya seperti MUI, ISEI, dsb. Sehingga diperlukan suatu dialog dan konvensi guna memberikan sumbangsih terhadap etika bagi jasa profesi. Kerjasama ini dibutuhkan guna meminimalisir gap antara jasa profesi dengan masyarakat. Karena salah satu penyebab pelanggaran etika adalah standar etika seseorang berbeda dari masyarakat secara keseluruhan (Arens dan Loebbecke : 2000).

Pengendalian Etika
Untuk memastikan jalannya penyelenggaraan etika maka diperlukan pengendalian. Pengendalian ini dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yaitu pendekatan internal dan eksternal. Pendekatan internal yaitu suatu pendekatan yang dilakukan oleh diri seseorang (self control) sesuai dengan keyakinan yang dimilikinya (pengawasan malaikat). Sedangkan pendekatan eksternal yaitu suatu pendekatan yang menekankan perlunya dewan kehormatan yang mengadili pelaku jasa profesi yang melanggar etika keprofesiannya. Sanksi yang diberikan bisa berupa teguran atau peringatan tegas.

Dilihat dari fakta yang ada yaitu masih banyaknya pelanggaran etika jasa profesi, dua pendekatan ini sangat diperlukan dalam rangka mensukseskan pelaksanaan etika jasa profesi. Namun yang perlu diingat adalah anggota dewan kehormatan ini pun harus memiliki jiwa yang kompeten, jujur, dan berani (nilai universal).

Berdasarkan pemaparan di atas, maka perlu dikaji ulang pelaksanaan standar etika di Indonesia. Pembuatan dan pelaksanaan standar etika selama ini lebih bermuatan nilai Kapitalis Sekulerisme, sehingga mengabaikan nilai ruh (ketauhidan). Oleh karenanya diperlukan suatu alternatif pilihan dalam mengarahkan sumber standar etika, pelaksanaanya dan pengendaliannya, Pembenahan etika ini idealnya dimulai dari pendidikan tinggi akuntansi dan pendidikan profesi akuntansi.

Islam merupakan agama samawi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan agama- agama terdahulu, tentunya bersifat universal bagi seluruh umat manusia. Terlebih lagi Indonesia yang merupakan umat Islam terbesar sudah selayaknya diatur dengan hukum yang diciptakan oleh Allah SWT yang Maha Tahu segala sifat dan karakter manusia, termasuk dalam masalah moral atau akhlak jasa keprofesian.***

( http://yakuza-yocha.blogspot.com/2008/04/etika-profesi.html)

Pendapat Saya : Tugas para akuntan sekarang ini, dengan diakuinya profesi tersebut sebagai profesi vital, untuk menegaskan bahwa akuntansi tidaklah berarti tanpa integritas etika moral yang tinggi, bukan hanya kompetensi.

0 komentar:

Posting Komentar